Negarawan Mendustakan Negara

Negarawan Mendustakan Negara

            Ideologi bangsa Indonesia memiliki keragaman yang sangat tinggi dengan tingkat keragaman golongan yang banyak pula. Namun apapun keberagaman tersebut nampaknya telah disatukan sedemikian rupa oleh pendiri bangsa ini melalui doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan. Doktrin kebangsaan itu adalah Bhinneka Tunggal Ika, yaitu pluralisme dan multikultualisme yang harus disatukan oleh “rasa bersama” dalam idiom negara persatuan dengan semangat nasionalisme di dalamnya. Sedangkan doktrin kerakyatan sama dengan demokrasi pancasila, yaitu mengakui keberadaan individu sebagai sosok “makhluk sosial” dalam kekolektifan.

            Politik sebagai kekuatan dalam pembangunan negara tidak hanya penjabaran doktrin kebangsaan dan doktrin kerakyatan, tetapi sekaligus menegaskan bahwa pembangunan nasional tidak hanya untuk mencapai peningkatan “nilai-tambah ekonomi” tetapi juga “nilai-tambah sosial-kultural”. Oleh karena itu, politik yang membangun negara adalah politik yang membangun manusia seutuhnya. Artinya pembangunan ini tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan angka-angka ekonomi belaka tetapi juga membangun manusia dalam arti luas secara merata.

            Kini pembangunan nasional dalam mewujudkan kesejahteraan memiliki tantangan ketika menghadapi globalisasi ekonomi. Politik yang tertulis di atas mengutamakan kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global. Namun hal ini bertolak belakang dengan pengakuan majalah The Economist edisi bulan November 2013 bahwa toh di dalam globalisasi, di mana Negara-negara besar mengajurkan kerjasama ekonomi dan politik, toh terbukti negara-negara besar itu mewaspadai dan menghalau globalisasi manakala merugikan kepentingan negara-negara besar itu.

            Politik Indonesia nampaknya telah lupa dengan jati diri bangsa. Tidak banyak yang tahu hakikat “persaingan” dan “kerjasama”. “Persaingan” bermula dari pengutamaan kepentingan orang sebagai ciri utama liberalisme yang melahirkan individualisme. “Kerjasama” bermula dari paham kebersamaan (kolektivitas) yang mendorong niat untuk senantiasa bekerjasama bergotong-royong demi mencapai kepentingan bersama. Ideologi Indonesia adalah kebersamaan yang diwujudkan dengan bekerjasama, mengutamakan kepentingan bersama, saling bergotong-royong.

            Sesungguhnya paradigma nasional ekonomi Indonesia adalah kerakyatan yang merdeka dan bebas yang sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Sistem ini mengambil pijakannya dari Al Qur’an dan As Sunnah yang mempunyai sifat keadilan, kebebasan, kesatuan, keseimbangan, dan tanggung jawab. Di Indonesia kita mengenalnya sebagai ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan merupakan pengejawantahan ekonomi nasional dengan penekanan kepada sila ke-4 Pancasila. Menurut Frassminggi Kamasa, selama ekonomi kerakyatan ini bebas dari riba dan turunannya, itu akan sesuai dengan Islam. Inilah asas ekonomi nasional sebagaimana yang tercantum dalam penjelasan pasal 27 ayat 2, pasal 33, dan pasal 34 UUD 1945

            Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 mengatakan,”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Menurut Sri-Edi Swasono, guru besar Universitas Indonesia, orientasi konstitusi ini adalah pada pembukaan lapangan kerja (Pro-job) dan kehidupan yang layak bagi rakyat banyak (Pro-poor). Oleh karena itu, tujuan ekonomi kita bukan pertumbuhan ekonomi belaka dengan sistem ribawi, namun pro-job dan pro-poor yang merata.

            Pasal 33 UUD 1945 mengatakan, “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam undang-undang.

            Menurut Sri Edi Swasono Pasal 33 UUD 1945 ini menolak paham fundamentalisme pasar. Pasar adalah ekspresi selera dan kehendak si kaya yang memiliki tenaga daya beli. Oleh karena itu dalam sistem ekonomi yang propasar maka pola produksi dan konsumsi akan dibentuk sesuai dengan kehendak si kaya dan oleh perhitungan untung-rugi ekonomi. Inilah yang harus dihindari oleh negeri ini. Pembangunan nasional tidak seharusnya diserahkan pada kehendak pasar dan selera pasar, apalagi insting dasar (kerakusan) pasar.

            Demikian pula perlu kita catat bahwa pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara” menunaikan surat Al Maun. Hal ini menurut Sri Edi Swasono berarti bahwa definisi pembangunan telah terkoreksi dan berkembang kea rah people-centred dan humanism, harus kita sadari dan kita tuntut.

            Kenyataannya negeri ini sudah salah urus. Nampaknya huru-hara tahun 1998 telah menelurkan kerusakan sosial-ekonomi di mana-mana. Menurut A Riawan Amin, kesalahan masa lalu untuk berlutut pada IMF adalah kesalahan besar yang mendasar. Hutang tanpa batas yang diakibatkan oleh riba menjadikan Indonesia budak yang harus menaati segala keinginan IMF yang disebut Letter of Intent. Sejak saat itulah politik tidak pernah mengamalkan ekonomi Pancasila. Inilah pekerjaan pemerintahan selanjutnya. Seorang ekonom barat yang pro rakyat, Stiglitz, menganjurkan agar Indonesia berani bernegoisasi ulang atas karya tambang mineral dan batu bara (minerba) bila belum berani menasionalisasikan minerba kita.

            Sebuah pelajaran di luar ekonomi saat krisis 1998 seharusnya membuat kita tersadar. Tahun 1998 pertumbuhan ekonomi merosot -18,6% dalam setahun. Para ekonom ortodoks pesimis ekonomi nasional akan pulih kurang dari lima tahun. Namun keajaiban ekonomi di luar nalar ekono ortodoks terjadi, kurang dari dua tahun ekonomi nasional tumbuh 4,8%. Akhirnya diakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (ekonomi rakyat), memberi kotribusi yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

            Jadi, akan sangat ironis apabila ekonomi rakyat dan ekonomi Pancasila harus dipangkas oleh perintah IMF yang berbasis riba dan ketidakadilan.  Bila dibandingkan perjuangan ekonomi rakyat dalam menyelamatkan Indonesia, perjuangan pemerintah “bermental pengemis” sangatlah tidak pantas. Sudah waktunya untuk menghentikan permainan politik ini melalui ekonomi syariah sebagai satu-satu sistem ekonomi yang prorakyat dan sesuai dengan ekonomi Pancasila.

Written By: Khoirul Zadid Taqwa
Mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Airlangga



Daftar Pustaka
Amin, A Riawan.2007.Satanic Finance. Jakarta : Celestial Publishing
Kamassa, Frassminggi.2012.The Age of Deception: Riba dana Globalisasi Ekonomi, politik, global, dan Indonesia.Jakarta. Gema Insani
Swasono, Sri-edi.2013. Doktrin Pembangunan Nasional Indonesia. Depok : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia


Share:

0 komentar