Bermaaf-maafan Jelang Bulan Ramadhan

Bermaaf-maafan Jelang Bulan Ramadhan
Oleh: Khoirul Zadid Taqwa

Barusan aku dapat sms dari temen-temen untuk meminta maaf. Aku kira ini budaya baru atau apa, soalnya biasanya bermaaf-maafan ini setelah bulan Ramadhan. 

Well, aku pernah dengar alasan mengapa banyak muslimin yang meminta maaf ketika memasuki bulan Ramadhan adalah berdasarkan hadist yang intinya kurang lebih seperti ini:“Ketika Rasulullah sedang berkhutbah pada saat Sholat Jum'at (dalam bulan Sya'ban), beliau mengatakan, “Amin”. sampai tiga kali. Para sahabat terkejut begitu mendengar Rasulullah mengatakan Amin, dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung,  kenapa Rasulullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai sholat Jum'at, para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut,  kemudian beliau menjelaskan: "Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasulullah amin-kan do'a ku ini.  Do'a Malaikat Jibril itu adalah "Ya Allah tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal sebagai berikut : 
  1. Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada)
  2.  Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri
  3. Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya
Mereka berpendapat bahwa hadist ini ada dalam riwayatnya Ibnu Hibban dari Imam Ahmad. Ternyata setelah dicari dengan teliti, ternyata memang benar kalau periwayatnya adalah Ibnu Hibban dari Imam Ahmad. Isinya pun hampir sama, tetapi point-pointnya beda (jadi salah kaprah). Yang benar adalah :
Abu Hurairah bercerita bahwa suatu saat Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassalam naik ke mimbar kemudian Nabi mengucapkan,” Baru saja Malaikat Jibril datang kepadaku dan Malaikat Jibril menyampaikan tiga hal. ” Apa ketiga hal itu?
  1.  Barangsiapa yang menemui bulan Ramadhan tetapi tetap melakukan maksiat dan mati dalam keadaan bermaksiat, maka dia tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu Wata’ala dan dia tidak akan mendapatkan sedikit pun rahmat Alloh dari bulan Ramadhan.
  2. Barangsiapa yang memiliki orang tua yang dia durhaka kepadanya dan dia tidak berbuat baik kepada kedua orang tuanya, maka dia tidak akan masuk surga. Kalau kita ingin masuk surga maka lihatlah kedua orang tua kita. 
  3. Barangsiapa yang ketika disebut nama Nabi Muhammad tetapi dia tidak bersholawat kepadanya dan terus menerus selamanya seperti itu sampai dia meninggal dunia, maka Allah Subhanahu Wata’ala akan melaknatnya di akhirat kelak.

Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Was sallam mengaminkan ketiga hal itu. Inilah hadits yang ahsan dan shahih.

Terkait dengan hadist yang pertama, bahwa bukan berarti kita tidak diperbolehkan meminta maaf pada bulan Ramdhan, tetapi konsep waktu dari meminta maaf adalah dilakukan sesegera mungkin. 

Terkait dengan hadist kedua kita mendapatkan tiga esensi yang sangat bermakna. Esensi yang pertama adalah bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, penuh nikmat sehingga sangat rugi apabila seseorang tidak memaksimalkan dalam beribadah dan beramal sholeh pada bulan ini. Seperti yang kita ketahui begitu banyak keutamaan-keutamaan di bulan suci Ramadhan ini seperti 10 hari terakhir bulan Ramadhan dimana terdapat yaumul Qadr dan lain sebagainya. 

Esensi yang kedua adalah berbuat baiklah kepada orang tua, karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua (dalam hal positif [Al Hadist]). Maka perlu kita ketahui bahwa di surah Luqman ayat 14-15 yang artinya (“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu. Kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”) Maka sudah sepantasnyalah kita menghormati orang tua kita.

Terkait dengan esensi yang ketiga Seluruh marja agung taklid pada Taudhi al-Masâil mereka menghukumi mustahab (dianjurkan) menyampaikan shalawat tatkala mendengar nama Rasulullah Saw dan hukum ini juga berlaku untuk shalat.

Ayatullah Makarim Syirazi berkata, “Shalawat ke atas Rasulullah Saw dan keluarganya setelah shalat atau dalam keadaan shalat demikian juga pada kondisi-kondisi lainnya adalah termasuk amalan-amalan mustahab yang sangat dianjurkan (muakkad). Kapan saja seseorang mendengarkan nama penuh berkah (mubârak) Baginda Rasulullah Saw baik itu Muhammad atau Ahmad dan demikian juga julukan dan gelar Rasulullah Saw seperti Musthafa dan Abul Qasim maka mustahab baginya menyampaikan shalawat meski ia sedang mengerjakan shalat.”

Harap diperhatikan bahwa tuturan-tuturan fukaha (juris) agung yang menjelaskan secara mutlak (bilamana seseorang mendengarkan nama penuh berkah Rasulullah…) maka dapat disimpulkan bahwa apabila nama Baginda Rasulullah Saw diulang atau ayat shalawat diulang maka mustahab juga hukumnya mengulang dzikir shalawat. Namun jelas bahwa mengulang shalawat hukumnya mustahab sepanjang tidak mengeluarkan seseorang dari bentuk shalat. Terkait dengan ayat shalawat Imam Ali As bersabda, “Tatkala (kalian) membaca ayat “InnaLlâha wa malaikatahu yushallûna ‘ala al-nabi..” (Seseungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat kepada Nabi) maka banyak-banyaklah bershalawat kepada Rasulullah Saw baik dalam keadaan shalat atau di luar shalat.[1]

Semoga apa yang saya sampaikan ini bermanfaat dan apabila ada kurang lebihnya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. 
 Wallahu a’lam bis shawab



Source:
 Khazanah TRANS 7 Selasa 18 Juni 2013
[1]. Abu Muhammad Hasan bin Ali bin al-Husain bi Sya’bah al-Harrani, Tuhaf al-Uqul, jil. 1, hal. 210, terjemahan Behzad Ja’fari, Nasyr Shaduq Teheran, Cetakan Pertama, 1377.

Share:

0 komentar