Kecoa mati di tong sampah (peliknya kehidupan orang miskin khususnya petani)

Bismillahirrahmanirrahim

Judul itu seolah-olah sangat menyeramkan untuk seorang petani, tetapi itulah keyataannya. Seekor tikus juga bisa mati di lumbung padi bila tikusnya tidak bisa makan padi itu atau keracunan karena makan padi petani. Itulah sebuah gambaran hubungan antara petani dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.

Tanah di Indonesia sangatlah subur. Bahkan sangat cocok bila digunakan untuk bercocok tanam. Saat pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia pernah mendapatkan gelar sembada pangan karena saking sejahteranya Indonesia akan panganya. Namun sayang, tanah yang subur itu sudah terkonversi menjadi lahan non-pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tak kurang 120 ribu hektar pertahun konversi lahan pertanian ke nonpertanian terjadi. Salah satu penyebabnya adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,41% pertahun. Namun tata kelola kota dan desa merupakan penyebab utama yang harus bertanggung jawab dengan masalah ini.

Ketersediaan pangan di Indonesia sebenarnya tidaklah selaras dengan semakin berkurangnya lahan pertanian. Menurut data BPS, konsumsi beras perkapita dalam satu tahun adalah  sebanyak 102 kilogram. Apabila dihitung secara agregat, konsumsi beras pada tahun 2012 mencapai 34,05 juta ton. Hal ini masih tidak masalah karena produksi nasional masih sebesar 40,05 ton. Bila dilihat dari laju produksi beras rata-rata pada tahun 2000 hingga tahun 2012, produksi beras memiliki peningkatan sebesar 7,6% pertahun. Hal ini menunjukkan tidak ada masalah dengan ketahanan pangan meskipun lahan pertanian menurun.

Masalah yang paling besar adalah kondisi masyarakat Indonesia. Kondisi ini terkait dengan masalah ekonomi. Hal ini telah disampaikan pada pertemuan yang membahas Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia oleh Dewan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian RI, dan World Food Program pada tahun 2009 bahwa kerentanan pangan bukan hanya dilihat secara fisik dari lahan pertanian dan produksinya, tetapi juga kondisi sosial, indikator-indikator terkait akses pangan, dan pemanfaatan pangan dan gizi.

Menurut BPS, jumlah masyarakat Indonesia telah menurun, tetapi telah terjadi ketimpangan. Pada September 2012, kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 11,66% (sebanyak 0,54 juta) dibandingkan dengan Maret 2012. Bila dilihat dari sebaran penduduk yang miskin, sebesar 63,25% penduduk miskin di Indonesia terletak di pedesaan. Sedangkan bila dilihat dari mata pencahariannya menyatakan bahwa  sektor pertanian menyumbang 40-50% kemiskinan di Indonesia.

Petani memang pahlawan yang terlupakan. Padahal dilihat dari nilai gabah yang mereka produksi telah meningkat sebesar 0,70%, yaitu dari 104,58 menjadi 105,41 (data BPS pada laopran sosial ekonomi tahun 2013). Namun usaha mereka tidak begitu dihargai. Terbukti dari data BPS pada Maret 2013 menyatakan bahwa indeks harga yang diterima petani mengalami penurunan sebesar 0,21%. Hal ini disebabkan oleh penurunan indeks harga padi sebesar 0,47%. Padahal indeks harga kebutuhan petani untuk bercocok tanam naik sebesar 0,63%, belum lagi indeks harga kebutuhan rumah tangganya yang naik sebesar 0,68%. Jadi sebenarnya mereka harus membeli lebih mahal atas usaha yang telah dilakukannya.

Oleh karena itu, bila secara agregat kemiskinan memang menurun, tetapi terdapat peningkatan tingkat kemiskinan di dalam kemiskinan itu sendiri. Menurut data sosial ekonomi BPS April 2013 terdapat dua indeks kemiskinan yaitu indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan. Parahnya, kedua indeks tersebut didominasi oleh wilayah pedesaan. Pada September 2012, nilai indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan di daerah pedesaan mencapai 0,61 dan 2,41. Sedangkan di perkotaan indeks keparan dan kedalaman kemiskinan hanya mencapai 0,36 dan 1,38. Perbedaannya hampir 50%.


Harga pangan masih menjadi penyumbang terbesar terhadap garis kemiskinan. Sebesar 77,3% kemiskinan di pedesaan disumbang oleh sektor makanan. Sedangkan di perkotaan, kemiskinan hanya disumbang 70%. Padahal faktanya, lahan pertanian masih banyak di desa daripada di perkotaan, namun nampaknya produsen tidak lebih sejahtera daripada konsumen, apalagi buruhnya (buruh petani).

Share:

0 komentar